I.
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau
bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang nomor 12 Tahun 1994.
PBB adalah
pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan
oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa
yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
2.
Dasar Hukum
Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar hukum pajak bumi dan bangunan
adalah :
a)
UU No. 12
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994
Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
b)
KMK
No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
c)
KMK No.
523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek
Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
d)
KMK No.
1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi
Internasional yang Menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Yang Tidak
Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
e)
Kep Dirjen
Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara Penetapan Besarnya Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan
Bangunan.
f)
Kep Dirjen
Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.Surat
Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai
Jual Objek Pajak Tidak
g)
Kena Pajak
(NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004.
h)
Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan dan Penjelasan Pembebasan
PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial Untuk Kawasan Industri dan Real
Estate.
3.
Istilah
Penting Dalam Undang-Undang PBB
Istilah penting dalam undang-undang PBB
adalah :
a)
Bumi adalah
permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;
b)
Bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan;
c)
Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh
dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat
transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan
harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai
Jual Obyek Pajak Pengganti;
d)
Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh
wajib pajak untuk melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan undang-undang
ini;
e)
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh
Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada
wajib pajak.
4.
Objek Pajak
Bumi dan Bangunan
Ø
Yang menjadi
objek pajak adalah :
o
Bumi adalah
permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
o
Bangunan adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau
perairan.
Ø
Yang
termasuk pengertian bangunan adalah :
o
Jalan
lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik,
dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut;
o
Jalan TOL;
o
Kolam
renang;
o
Pagar mewah;
o
Tempat olah
raga;
o
Galangan
kapal, dermaga;
o
Taman mewah
5. Objek Pajak Bumi Dan Bangunan yang Di
Kecualikan
Obyek yang dikecualikan
adalah :
a)
Digunakan
semata –mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, pendidikan
dan kebudayaan nasional yang tidak di maksudkan untuk memperoleh keuntungan,
seperti; masjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.
b)
Digunakan
untuk kuburan,
c)
Digunakan
sebagai tempat penyimpanan peninggalan purbakala.
d)
Merupakan
hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan lain-lain.
e)
Dimiliki
oleh Perwakilan Diplomatik berdasarkan asas timbal balik dan Organisasi
Internasional yang ditentuikan oleh Menteri Keuangan
6.
Subjek Pajak
Bumi dan Bangunan
Yang menjadi subjek PBB adalah orang atau
badan yang secara nyata :
a)
mempunyai
hak atas bumi/tanah, dan/atau;
b)
memperoleh
manfaat atas bumi/tanah dan/atau;
c)
memiliki,
menguasai atas bangunan dan/atau;
d)
memperoleh
manfaat atas bangunan.
7.
Dasar
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan
adalah :
a)
Adanya Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) Adalah harga rata-rata yang
diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana
tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga
dengan obyek lain yang sejenis, atau niali perolehan baru atau nilai objek
pajak pengganti.
b)
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3
tahun sekali, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun dengan
perkembangan daerahnya.
c)
Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan
serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Kena Pajak.
d)
Besarnya persentase Nilai jual Kena Pajak
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi
nasional.
8.
Tarif Pajak
Bumi dan Bangunan
Tarif pajak
yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% dan jenis tarif ini disebut
sebagai Tarif tunggal yang berlaku terhadap obyek pajak jenis apapun di seluruh
wilayah Indonesia. Tarif efektif Pajak Bumi dan Bangunan adalah 0,1% untuk
objek yang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) kurang dari 1 milyar dan 0,2% untuk
objek yang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sama dan di atas 1 milyar.
9. Dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan
adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Besarnya NJKP adalah :
a) Objek pajak perkebunan adalah 40%
b)
Objek pajak
kehutanan adalah 40%
c)
Objek pajak
pertambangan adalah 20%
d)
Apabila
NJOPnya < Rp. 1000.000.000,- adalah 40%
e)
Apabila
NJOPnya > Rp. 1000.000.000,- adalah 20%
10. Rumus Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan
Rumus
perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif x NJKP
Contoh :
a)
Jika NJKP = 40% x (NJOP – NJOPTKP)
maka
besarnya Pajak Bumi dan Bangunan
NJKP = 0,5% x 40% x (NJOP –
NJOPTKP)
= 0,2% x (NJOP – NJOPTKP)
b)
Jika NJKP = 20% x (NJOP – NJOPTKP)
maka
besarnya Pajak Bumi dan Bangunan
NJKP = 0,5% x 20% x (NJOP –
NJOPTKP)
= 0,1% x (NJOP – NJOPTKP)
Contoh perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan
a)
Tuan Bonco
seorang mahasiswa DIII perpajakan Unibraw pada tahun 2007 hanya memiliki sebuah
objek pajak berupa bumi di kawasan Soekarno-Hatta, Malang dan diketahui Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi tersebut sebesar Rp. 10.000.000. Berapakah Besar
PBB yang terhutang pada tahun 2007 milik Tuan Bonco !
Jawab :
Karena besarnya NJOP kurang dari Rp.
12.000.000,- maka objek pajak tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
b) Tuan Ponco seorang pengusaha terkenal
memiliki 2 buah rumah pada tahun 2007, objek pertama terletak di desa Wlingi,
Blitar dan Objek kedua terletak di desa Bendo, Blitar. Diketahui bahwa
untuk objek pertama NJOP Bumi sebesar Rp. 8.000.000,- dam NJOP Bangunan sebesar
Rp. 7.500.000,-. Untuk Objek yang kedua diketahui NJOP bumi sebesar Rp.
9.000.000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 6.000.000,-
Hitung PBB
terhutang tahun 2007 Tuan Ponco atas kedua objek tersebut !
Jawab:
PBB
Terhutang = Tarif (0,5%) x NJKP
NJKP = NJOP – NJOPTKP
Dimana
:
NJOP = NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOP Di desa
Wlingi
NJOP Bumi = Rp. 8.000.000,-
NJOP
Bangunan = Rp. 7.500.000,-
Total = Rp.
15.500.000,- (NJOP terbesar)
NJOP di desa
Bendo
NJOP
Bumi = Rp. 9.000.000,-
NJOP
Bangunan = Rp. 6.000.000,-
Total = Rp. 15.000.000,-
NJOP Desa
Wlingi
NJOP Bumi = Rp. 8.000.000,-
NJOP
Bangunan = Rp. 7.500.000,-
NJOP dasar
pengenaan PBB = Rp. 15.500.000,- (NJOP Terbesar)
NJOP = Rp. 12.000.000 –
NJOP
Perhitungan PBB = Rp. 3.500.000,-
NJOP Desa
Bendo
NJOP Bumi = Rp. 9.000.000,-
NJOP
Bangunan = Rp. 6.000.000,-
NJOP dasar
pengenaan PBB = Rp. 15.000.000,-
NJOPTK = Rp. 0,-
(-)
NJOP
Perhitungan PBB = Rp. 15.000.000,-
PBB Terhutang = Tarif x NJKP
= 0,5% x 20% x Rp. 18.500.000,-
II.
BEA PEROLEHAN
HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
1.
Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pungutan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya
hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk
hak pengelolaan, berserta bangunan di atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang
Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lainnya.
Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan dari nilai perolehan objek pajak dengan besaran tarif
sebesar 5% dari nilai perolehan objek pajak. Pada awalnya, BPHTB dipungut oleh
pemerintah pusat, tetapi sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), mulai 1 Januari 2011, BPHTB
dialihkan menjadi pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota.
Dasar hukum BPHTB adalah :
a)
UU No. 20 Tahun
2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.
b)
KMK Nomor :
630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional Yang
Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
3.
Istilah Penting dalam UU BPHTB
( Pasal 1 UU
No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000)
a)
Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
b)
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan.
c)
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk
hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
d)
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk melakukan
tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
e)
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah surat ketetapan yang
menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
f)
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan adalah surat ketetapan yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
g)
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayaradalah surat ketetapan yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak yang telah
dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang.
h)
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat ketetapan yang
menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang
dibayar.
i)
Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh Wajib
Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang
ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau
Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan.
j)
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk
membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
k)
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas
keberatan terhadap Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang
Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih
Bayar, atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil
yang diajukan oleh Wajib Pajak.
l)
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan
pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib
Pajak.
4.
Objek Pajak
( Pasal 2 ayat
(1) dan (2) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi :
a)
Pemindahan Hak
·
Jual beli
·
Tukar Menukar
·
Hibah
·
Hibah Wasiat, adalah suatu penetapan wasiat
yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang
pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat
meninggal dunia.
·
Waris
·
Pemasukan dalam
perseroan atau badan hukum lainnya, adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi
atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai
penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
·
Pemisahan hak
yang mengakibatkan peralihan, adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan
oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.penunjukan
pembeli dalam lelang;
·
Penunjukan
pembeli dalam lelang, adalah
penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam
Risalah Lelang.
·
Pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai pelaksanaan dari
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan
hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak
yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
·
Penggabungan
usaha adalah penggabungan dari dua
badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu
badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
·
Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau
lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi
badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
·
Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan
usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha
baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru
tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
·
Hadiah adalah suatu perbuatan hukum
berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
·
Kelanjutan
pelepasan hak; Yang dimaksud dengan pemberian
hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang
pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan
hak.
·
Diluar
pelepasan hak. Yang dimaksud dengan pemberian
hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada
orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku
c) Hak atas Tanah
( Pasal 2 ayat (3) UU No. 21
Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud hak atas tanah
adalah :
·
Hak milik, adalah hak turun-temurun,
terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
·
Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang
ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.
·
Hak guna
bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan
jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
·
Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan dan
atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah
milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan
dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yangberlaku.
·
Hak milik atas
satuan rumah, adalah hak milik atas satuan yang
bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi
juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
·
Hak pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara
yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya,
antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan
tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah
tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
5.
Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU
No.20 Tahun 2000 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek
BPHTB adalah sebesar 5 % (lima persen).
6.
Dasar Pengenaan Pajak
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997
jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi Dasar Pengenaan
BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu dalam hal :
a)
Jual beli
adalah harga transaksi;
b)
Tukar-menukar
adalah nilai pasar;
c)
Hibah adalah
nilai pasar;
d)
Hibah wasiat adalah
nilai pasar;
e)
Waris adalah
nilai pasar;
f)
Pemasukan dalam
perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g)
Pemisahan hak
yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h)
Peralihan hak
karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
nilai pasar;
i)
Pemberian hak
baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j)
Pemberian hak
baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k)
Penggabungan
usaha adalah nilai pasar;
l)
Peleburan usaha
adalah nilai pasar;
m)
Pemekaran usaha
adalah nilai pasar;
n)
Hadiah adalah
nilai pasar;
o)
Penunjukan
pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah
Lelang.
Apabila Nilai
Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sampai dengan
n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya
perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan.
a) Nilai Pasar
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997
jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud dengan nilai
pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi
di sekitar letak tanah dan atau bangunan.
7.
Nilai Perolehan Objek Pajak Yang Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP)
( Pasal 7 UU
No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000
jo.KMK-516/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena
waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Yang dimaksud
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional
adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk
masing-masing Kabupaten/Kota.
8.
Tata Cara untuk menentukan besarnya NPOPTKP
( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997
jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo. KMK-516/KMK.04/2000
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Tata Cara untuk menentukan
besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak adalah sebagai berikut :
a) Besarnya Nilai Perolehan Objek
Tidak Kena Pajak ditetapkan untuk setiap Kabupaten/Kota.
b) Besarnya Nilai Perolehan Objek
Tidak Kena Pajak untuk setiap Kabupaten/Kota dapat diusulkan oleh Pemerintah
Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
setempat, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun pajak dimulai.
c) Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan menetapkan besarnya Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan memperhatikan usulan Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud dalam point 2.
d) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak
mengajukan usulan sebagaimana dimaksud dalam point 2, besarnya Nilai Perolehan
Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan
perkembangan perekonomian regional.
Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan
besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan
ketentuan:
a) untuk perolehan hak karena waris,
atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
b) untuk perolehan hak Rumah
Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara
Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan
Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Bersubsidi,
dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara
Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan
Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun
Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta
rupiah);
c) untuk perolehan hak baru melalui
program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka
Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi
Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
d) untuk perolehan hak selain
perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c,
ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah);
e) dalam hal Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih
besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada
huruf d;
f) dalam hal Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih
besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada
huruf d."
9.
Penghitungan Pajak
( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997
jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Secara umum besarnya BPHTB yang
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai Perolehan Objek Pajak
(NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP),
atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Perolehan Objek
Pajak (NPOP) xxxx
Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) xxxx (-)
Nilai Perolehan Objek
Pajak Kena Pajak
(NPOPKP) xxxx
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan
terhadap dokumen yang menurut Undang-undang Bea Meterai menjadi objek Bea
Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea Meterai harus sudah
dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain
sebelum dokumen itu digunakan.
a)
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
b)
Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya
Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.
c)
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna, Dan Desain Meterai
Tempel Tahun 2005
d)
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan
Menggunakan Cara Lain.
e)
Keputusan
Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai
dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
f)
Keputusan
Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai
dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan.
g)
Keputusan
Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai
dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi.
h)
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan
Cara Pemeteraian Kemudian.
i)
Keputusan
Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian Kemudian.
j)
Surat Edaran
Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea Meterai.
Meliputi :
a)
Bea
meterai tidak diperlukan nomor identitas baik untuk wajib pajak maupun obyek
pajak.
b)
Pembayaran
bea meterai terjadi terlebih dahulu daripada saat terutang.
c)
Waktu
pembayaran dapat dilakukan secara isidentil dan tidak terikat waktu
a)
Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud
tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak
lain yang berkepentingan.
b)
Benda Meterai adalah Meterai tempel dan Kertas Meterai yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
c)
Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya
dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf,
teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
Pemeteraian
kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan
pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.
d)
Pejabat pos adalah pejabat PT Pos dan Giro yang diserahi tugas
melayani permintaan pemeteraian kemudian.
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan
meterai adalah dokumen menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen
yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan, antara
lain :
a)
Surat
perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang
bersifat perdata.
b)
Akta-akta
notaris termasuk salinannya.
c)
Akta-akta
yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.
d)
Surat yang
memuat jumlah uang yaitu:
·
yang
menyebutkan penerimaan uang
·
yang
menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank
·
yang berisi
pemberitahuan saldo rekening di bank
·
yang berisi
pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau
diperhitungkan.
e)
Surat
berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.
f)
Dokumen yang
dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan sebagai alat
pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat
kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dan maksud
semula.
6. Tidak Dikenakan Bea Meterai
Secara umum dokumen yang tidak
dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi intern
perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara.
Dokumen yang tidak termasuk objek
Bea Meterai adalah:
a) Dokumen yang berupa:
·
surat penyimpanan
barang;
·
konosemen;
·
surat angkutan
penumpang dan barang;
·
keterangan
pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang, konosemen,
dan surat angkutan penumpang dan barang;
·
bukti untuk
pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
·
surat pengiriman
barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
·
surat-surat
lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.
b) Segala bentuk ijazah
c) Tanda terima gaji, uang tunggu,
pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan
hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran
itu.
d) Tanda bukti penerimaan uang
negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
e) Kuitansi untuk semua jenis pajak
dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu ke kas negara, kas
pemerintah daerah dan bank.
f) Tanda penerimaan uang yang dibuat
untuk keperluan intern organisasi.
g) Dokumen yang menyebutkan
tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan
badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut
h) Surat gadai yang diberikan oleh
Perum Pegadaian.
i) Tanda pembagian keuntungan atau
bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun.
7. Tata Cara
Pelunasan Bea Meterai
a)
Saat Terutang.
Saat
terutangnya bea meterai adalah saat sebelum dokumen yang terutang bea meterai
tersebut digunakan. Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 1985 disebutkan
saat terutangnya Bea Meterai adalah:
·
okumen yang dibuat
oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
·
Dokumen yang
dibuat oleh lebih dan satu pihak adalah pada saat selesainya dokumen dibuat;
·
Dokumen yang
dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia,
b)
Cara Pelunasan Bea Meterai
c)
Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Meterai
Tempel.
Cara mempergunakan meterai tempel :
·
Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas
dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
·
Meterai Tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.
·
Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan
tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian
tanda tangan di atas kertas dan sebagian lagi di atas Meterai Tempel.
·
Jika digunakan lebih dan satu Meterai
Tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua Meterai Tempel dan
sebagian di atas kertas.
·
Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel tetapi tidak
memenuhi ketentuan di atas, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak
bermeterai.
d)
Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Kertas
Meterai.
Cara mempergunakan kertas meterai :
·
Sehelai Kertas Meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian.
·
Kertas Meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
·
Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat
seluruhnya di atas Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang
masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
·
Jika sehelai Kertas Meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan
dalam hal ini belum ditandatangani oleh yang berkepentingan, sedangkan dalam
Kertas Meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata/kalimat yang belum
merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada Kertas
Meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru, maka Kertas
Meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak Perlu dibubuhi meterai lagi.
·
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi, dokumen
yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
e)
Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas
dengan Mesin Teraan.
Pelunasan dengan cara membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin
Teraan memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:
a)
Pelunasan Bea Meterai dengan mesin
teraan meterai hanya diperkenankan kepada penerbit dokumen yang melakukan
pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen.
b)
Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan mesin
teraan meterai harus melakukan prosedur sebagai berikut:
·
Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan
meterai yang akan digunakan, serta melampirkan surat pernyataan tentang jumlah
rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.
·
Melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,-
(lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Ke Kas Negara
melalui Bank Persepsi.
·
Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap bulan.
·
Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak
tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
f)
Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas
dengan Sistem Komputerisasi.
a)
Pelunasan Bea Meterai dengan sistem
komputerisasi hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk surat yang
memuat jumlah uang dalam Pasal 1 huruf d PP No. 24 Tahun 2000 dengan jumlah
rata-rata pemeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen.
·
Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang
akan dilunasi Bea Meterai setiap hari.
·
Pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen
yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak (ke Kas Negara melalui Bank Pensepsi).
·
Menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea
Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan
b)
Ijin pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi berlaku selama
saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi
kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.
g)
Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Teknologi
Percetakan.
Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan hanya diperkenankan
untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
a)
Penerbit dokumen yang akan melakukan
pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan harus melakukan prosedur
sebagai berikut:
·
Pembayaran Bea Meterai di muka
sebesar jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
·
Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan jumlah Bea
Meterai yang telah dibayar.
b)
Perum Peruri dan perusahaan sekuriti
yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, atau
efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, harus menyampaikan laponan bulanan
kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
c)
Pelunasan Bea Meterai bagi dokumen yang dibuat di Luar Negeri
d)
Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang
tidak digunakan di Indonesia.
8.
Tarif Bea Meterai.
a) Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00
untuk dokumen sebagai berikut:
·
Surat
Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang
bersifat pendata
·
Akta-akta
Notaris termasuk salinannya
·
Surat berharga
seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan Rp1.000.000,00.;
·
Dokumen yang
akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:
o
surat-surat
biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.
o
surat-surat
yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan
untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan tujuan semula.
b) Untuk dokumen yang menyatakan
nominal uang dengan batasan sebagai berikut:
·
Nominal sampai
Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai
·
Nominal diatas
Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
·
Nominal diatas
Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
c) Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea
Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas pengenaan besarnya harga
nominal.
d) Efek dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea
Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp
1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-.
e) Sekumpulan Efek dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah
harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,-,
sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea
Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,-.
9.
Ketentuan Khusus dan sanksi
a)
Ketentuan
Khusus
Caesars Casinos & Gambling - DrmCD
BalasHapusFind your 청주 출장안마 next gambling job 성남 출장샵 at Caesars Casino & 안양 출장샵 Gambling. 의정부 출장샵 We have the most 당진 출장마사지 trusted and reputable casinos in the industry. Get hired to complete your